Wednesday, September 30, 2015

Gerakan Mahasiswa Dalam Pandangan Pribadi.

Azar Widadsyah
Gerakan mahasiswa pernah diagung-agungkan pada masanya. Mahasiswa pernah mendapat dukungan penuh dari rakyat, dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah namun di lain pihak dicintai dan didukung gerakannya oleh rakyat. Mahasiswa pernah diagung-agungkan sebagai agen pembawa perubahan, sekumpulan pemikir yang jika bergerak bersama, bahkan mampu merubah satu negara.

Mungkin kita sering mendengar, kemerdekaan dan reformasi bangsa ini dipelopori oleh para mahasiswa. Di masanya, aksi massa yang dilakukan mahasiswa acap kali membawa perubahan skala masif terhadap sistem suatu negara. Dari jaman kolonial hingga kemerdekaan. Dari orde baru hingga reformasi.

Mahasiswa datang dengan memperjuangkan isu-isu yang relevan, pantang menyerah dalam melakukan aksi, dan disertai doa seluruh rakyat yang menginginkan perubahan. Mahasiswa dielu-elukan sebagai ujung tombak perubahan.

Pada masanya.




Sekarang, di tahun 2015, pada zaman post-modernisme, globalisasi, apapun itu silakan tafsirkan sendiri, gerakan mahasiswa tiba-tiba kehilangan taringnya. Kajian-kajian ilmiah mereka, sebagian besar tidak menghasilkan solusi yang aplikatif dengan kemajuan zaman. Ujung-ujungnya selalu demonstrasi. Demo, demo, dan demo.

Ironisnya, demonstrasi yang mereka lakukan tak lebih dari usaha putus asa untuk didengar, sementara pihak yang diharapkan mendengar tinggal ongkang-ongkang kaki di rumahnya. Lebih menyedihkan lagi jika, rakyat yang mereka perjuangkan justru antipati terhadap gerakan-gerakan mereka. Sering sekali saya mendengar suara sumbang dari rakyat sipil yang (katanya) mereka perjuangkan. Kelihatannya tidak perlu saya sebutkan disini, saya yakin para pembaca sudah paham apa yang saya maksud (atau malah menjadi oknum yang mendengungkan suara-suara sumbang itu? haha).

Dari situ saja, kita bisa melihat bahwa sudah waktunya bagi para mahasiswa untuk melakukan gerakan yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah waktunya bagi mereka untuk membedah apa yang salah, memperbaikinya, dan menelurkan inovasi-inovasi baru yang mampu menjadi katalis perubahan.


Tapi yang saya amati malah sebaliknya.
Para mahasiswa (yang katanya) aktivis malah sibuk menyalahkan perubahan zaman, menyalahkan teman-teman mahasiswa mereka yang konon menjadi apatis, bahkan menyalahkan masyarakat yang mereka bela karena menyerah pada globalisasi. Tidak sedikit tulisan-tulisan, bahkan pendapat yang saya dengar langsung di kehidupan nyata bahwa gerakan-gerakan mereka adalah yang paling benar, gerakan itu menjadi salah karena sebab yang saya sebutkan diatas.
Sayang sekali karena yang berkata begitu adalah teman sendiri, saya tidak bisa tertawa sembari berkata "oh really?"

Bahkan di kampus saya, yang menasbihkan diri sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, jawaban atas segala permasalahan gerakan mereka yang, dengan sangat berat hati bisa dikatakan gagal adalah:
1. "Mahasiswa sekarang sudah apatis!"
2 "Masyarakat sudah termakan globalisasi!"
3. "Kami memperjuangkan kepentingan rakyat, yang kami lakukan itu benar!"

Menyedihkan. Upaya mereka tidak lebih dari racauan orang gagal yang hanya bisa menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Tidak ada upaya memperbaiki diri.
Alih-alih memperbaiki diri, lha mereka merasa benar dan tidak perlu berbenah.

Oh iya, dari yang saya amati, para aktivis gerakan mahasiswa kini telah berubah identitas. Jarang sekali saya mendapati seorang aktivis dengan indeks prestasi tiga keatas.
Menggelikan memang, jika mengingat dulu kaum aktivis identik dengan kaum terpelajar yang membawa solusi atas permasalahan.

(Tidak lama kemudian, akan ada pembaca yang berkata: "IP bukanlah tolak ukur kepintaran seseorang!")
(Selang beberapa waktu, "kami memperjuangkan kepentingan rakyat!")
(Jika ada yang merasa pintar, "Sudah berapa buku yang kau baca? Tahu apa kau tentang aksi massa?")
Reaksi saya jika mendengarnya? Tersenyum sajalah :) 




Seorang teman pernah berkata, jika kamu melakukan protes atau mengkritik sesuatu, alangkah baiknya jika kritikan tersebut disertai dengan solusi. Sebuah statement yang cukup mengherankan karena membatasi ruang gerak kebebasan berbicara, namun kali ini saya ikuti sajalah.

Jadi, hal paling penting yang harus dilakukan oleh teman-teman aktivis menurut saya, cukup simpel sebenarnya, adalah:

Menerima kenyataan.
Terimalah kenyataan bahwa zaman memang sudah berubah. Terimalah kenyataan bahwa aksi kalian sudah usang dan tidak lebih dari sejarah manis yang menyenangkan.
Percayalah kawan, perubahan itu bisa dilakukan jika kalian sudah bisa menerima fakta bahwa ada yang salah dari manuver lama kalian.
Percayalah juga, bahwa tulisan-tulisan garang kalian tentang "mahasiswa apatis" dan "dampak negatif globalisasi", justru membuat banyak orang kehilangan simpati terhadap gerakan kalian.


Lalu kita beranjak pada hal lainnya.
Mari kita telaah kembali, kita hidup di zaman seperti apa.

Menurut saya, kita hidup pada zaman globalisasi dan demokrasi.

Ya, kawan-kawan, kita hidup pada zaman demokrasi. Kita semua sudah tahu itu. Secara teoritis, zaman demokrasi justru bisa mempermudah mahasiswa dalam melakukan gerakan-gerakannya. Setidaknya, mahasiswa tidak perlu takut untuk tiba-tiba ditikam hanya karena bersuara. Kalau saya boleh jujur, mahasiswa bisa bergerak sebebas mungkin dalam melakukan aksi, selama aksinya tidak desktruktif.

Para pelaku gerakan, memiliki potensi luar biasa hanya karena kata sakti bernama "demokrasi".

Timbul pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa dilakukan mahasiswa di zaman demokrasi? Dimana kebebasan ruang gerak dipersilakan, dan ketidak adilan bisa disuarakan kalau kita tahu bagaimana cara menyuarakannya?

Kita bisa memanfaatkan globalisasi, teman-teman sekalian. Kata sakti nomor dua yang seringkali kalian hakimi sebagai penyebab mati surinya gerakan kalian.

Apa yang bisa dilakukan globalisasi pada gerakan mahasiswa?
Saya beri contoh singkat saja. Globalisasi menjadi alat bagi masyarakat Mesir untuk menggulingkan diktator mereka yang bisa dikatakan sama kejamnya dengan Donflamingo dalam film kartun buatan Jepang yang kita kenal dengan One Piece. Globalisasi membuat suara anak perempuan dari Pakistan bernama Malala Yousafzai didengar di seluruh dunia, bahkan membuatnya menjadi pemenang nobel perdamaian termuda. Globalisasi membuat anak seumuran saya bernama Joshua Wong menjadi salah satu tokoh yang paling berperan dalam Umbrella Movement di Hongkong sana.


Alih-alih menyalahkan globalisasi, mereka memanfaatkannya.
Dan itu yang, bagi saya, harus dilakukan oleh teman-teman aktivis untuk membuat gerakan kalian memiliki taringnya lagi.

Bagaimana langkah konkrit memanfaatkan globalisasi?

Kalian punya internet.





Malang, 30 September 2015.



Azr
Mahasiswa yang menganggap membagikan posting tentang isu-isu sosial di Line jauh lebih berguna daripada demo yang bikin macet.  

About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

2 comments :

  1. Suka! Dari jaman gue masih belom jadi Budak SEO dan masih jadi so-called aktivis kampus, gue gag begitu suka sama ide apa2 kudu demo, apa2 kudu bakar ban. Bikin macet. Kzl.

    Gue sependapat sama lo di bagian kebanyakan mahasiswa sekarang, yang menyebut diri aktivis, cuma bisa menyalahkan apa yang udah ada. Hal lain yang sering disalahin selain globalisasi tuh biasanya kapitalisme. Padahal kalo cerdas, si kapitalisme ini bisa diberdayakan juga kayak globalisasi yang lo bilang itu.

    Udahan ah. Sarapan dulu abis lembur.

    Cheers! ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu emang masalah kebanyakan rakyat Indonesia kan? Hahaha. Always search for a scapegoat.

      Delete

Powered by Blogger.