Wednesday, March 02, 2016

Aksi Sosialmu Bukanlah Segalanya

Azar Widadsyah
Akhir-akhir ini, saya sedang aktif di beberapa komunitas yang ada di kota Malang. Dari komunitas tersebut, saya menjumpai berbagai tipe orang. Lingkungan di dalamnya benar-benar heterogen.

Rata-rata, komunitas yang saya masuki bergerak, atau setidaknya memiliki proker sosial. Sebuah movement yang bagus memang, mereka berusaha memperbaiki dunia atau setidaknya, membuat hidup menjadi lebih mudah untuk beberapa orang.

Tapi saya melihat ada satu kesalahan mindset di dalamnya. Saya tidak tahu, apa hanya saya yang sadar, atau semuanya sadar tapi tidak menganggap itu salah? Entahlah, benar dan salah memang masalah persepsi belaka. 


Karena salah satu pergerakannya adalah pergerakan sosial, maka bisa dimaklumi jika pergerakan tersebut berusaha agar pengeluaran bisa ditekan seminimal mungkin. Tetapi, yang membuat saya keheranan adalah mindset beberapa orang (atau malah mayoritas? Tidak tahu juga) bahwa aksi sosial, seolah-olah adalah segalanya. 

Karena aksi kamu adalah aksi sosial, maka tidak usahlah dipermak dengan marketing macam-macam. 

Karena aksi kamu adalah aksi sosial, maka seharusnya seluruh dunia membantumu dengan sukarela. 

Karena aksi kamu adalah aksi sosial, tidak usahlah memikirkan apakah aksi kamu ini layak dan memberikan experience tersendiri bagi para tamu dan pengunjung. 


Menurut pandangan saya, mindset diatas adalah cara pikir yang benar-benar salah kaprah.  Kenapa saya bisa bilang salah kaprah?

Mungkin saja, mereka lupa bahwa everyone have their own problems. Tanpa metode marketing yang tepat, aksi sosial hanya akan jadi upacara seremonial belaka.  Tidak ada kesan-kesan atau manfaat yang didapat, hanya ada seremonial sambil lalu. 

Sungguh disayangkan sebenarnya. Ada banyak social movement yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, tapi yang bisa dikatakan benar-benar memberikan dampak positif dan pengalaman tersendiri bagi pengunjung ataupun volunteer hanya sedikit sekali, setidaknya itu menurut obrolan kecil-kecilan saya dengan beberapa teman dari berbeda golongan.

Lebih buruk lagi, hal itu akan berpengaruh pada citra komunitas itu sendiri. 

Mengapa bisa?

Sebagai komunitas, banyak orang yang berharap bahwa kami, orang-orang sosial, akan melakukan aksi-aksi yang setidaknya, mampu mereka kenang.  Jika ekspetasi mereka setinggi itu, kemudian saat mereka hadir di acara yang bersangkutan, yang mereka dapati hanya acara yang "gitu-gitu saja", akankah mereka kembali lagi jika diadakan event serupa?

Sepertinya tidak. 

Lebih lanjut lagi, apa yang akan mereka pikirkan tentang komunitas kami?

Mungkin tidak rusak, tetapi pikiran seperti: "Ah, ternyata komunitas X gini doang ternyata" mungkin tidak dapat dihindari.  Baik-baik saja kah? Saya rasa tidak. 

Lalu, yang paling salah kaprah dari itu semua adalah cara pandang yang menganggap seolah-olah aksi sosial adalah segalanya, dan seluruh dunia harus bersekutu untuk membantu. 

I mean, c'mon guys. Who the fuck are we?

Salah satu teman saya, dia seorang pemain musik yang cukup ternama di kota Malang, pernah berkata bahwa saya bahwa dia kapok main di event sosial. Waktu saya tanyakan kenapa, jawabannya mudah saja. 

Ternyata, pihak penyelanggara acara bagi dia sudah kurang ajar. Dia adalah musisi yang cukup baik, sudah memiliki dua album, lumayan dikenal pula oleh masyarakat. Kemudian, pihak penyelanggara memintanya main gratis untuk aksi sosial. Dia hanya tertawa saja. Namun, dia mengiyakan, lalu dia mengirimkan rider kepada pihak penyelanggara.

Dia sempat menunjukkan rider yang dimaksud pada saya, dan kami berdua sepakat bahwa tidak ada hal yang susah dan merepotkan di dalam rider tersebut.  Tetapi, respon yang diberikan oleh penyelenggara benar-benar sudah melebihi batas teman saya. Pihak sana, melobi untuk menegosiasi kembali rider yang diberikan. 

Dari alat musik sampai menu makanan. Saya masih ingat betul perkataan dia, seperti ini bunyinya:

"Udah minta gratisan, nawar rider sampe segininya lagi? Masa minta alat kayak gini aja gabisa? Males lah main di acara sosial. Gak ada menghargainya sama sekali." 

Beberapa saat setelahnya, saya melihat sendiri respon orang-orang saat saya (kebetulan) menjadi penyelanggara acara. Saat ada rider yang permintaan paling autentiknya hanya buah pisang dan tanaman muda, banyak perkataan seperti ini terlontar:

"Ribet amat sih rider nya!"
"Kita acara sosial lho, kok gitu banget sih merekanya?"

Mungkin mereka lupa kalau normalnya, si pemberi rider itu dibayar. 

Mungkin saja, pihak penyelanggara acara sosial (termasuk saya) menganggap bahwa aksi sosial yang kami lakukan bisa merubah dunia. 

Sadly, we can't. 

Bagaimana bisa merubah dunia kalau aksi yang dilakukan hanya seremonial belaka?


Mari kita ingat dan camkan di kepala kita.
Kita bukanlah apa-apa. 
Masih untung ada pihak luar yang mau membantu kita. 




Ditulis di Malang, 2 Maret 2016, setelah mencoba mencermati dari perspektif konsumen.

About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

0 comments :

Post a Comment

Powered by Blogger.