Friday, July 01, 2016

Berhenti Membela Kesalahan Pendidik

Azar Widadsyah
Akhir-akhir ini, masyarakat sedang diributkan oleh seorang guru yang tersandung kasus hukum karena dia diduga mencubit siswanya. Orang tua siswa yang bersangkutan tidak terima, jadilah permasalahan tersebut berbuntut panjang.

Guru, yang konon adalah sosok yang dijunjung tinggi martabat dan kehormatannya tiba-tiba disandung kasus hukum. Ramailah masyarat. Sebagian besar menyayangkan sikap orang tua siswa tersebut yang terkesan berlebihan, tidak mengajarkan anak disiplin dan lain sebagainya. Sebaliknya, waktu seorang teman menanyakan pada saya komentar tentang kasus tersebut, jawaban saya singkat saja:

"Kalau itu anakku yang jadi korban, bakal panjang urusannya.'


Konon, mencubit dan segala macam hukuman fisik lainnya itu dimaksudkan agar si anak menjadi pribadi yang disiplin dan hormat kepada gurunya. Para guru menganggap, siswa yang bersalah adalah anak yang sangat nakal, sehingga untuk membuatnya jera harus diberi hukuman. Pendapat guru ini tadi diamini oleh banyak khalayak yang menganggap bahwa generasi setelah mereka mengalami degradasi moral dan perilaku yang hanya bisa disembuhkan dengan hukuman. Semakin keras hukumannya, semakin bagus dampaknya. 

Benarkah seperti itu?

Melihat dari hasil akhir di lapangan, sepertinya tidak. Tingkat literasi masyarakat Indonesia nomor 2 terbawah dari 60 negara. 8 dari 10 siswa di Indonesia tidak pernah mengerti untuk apa mereka mempelajari aljabar dan relativitas. Sebagian besar siswa tidak memahami konsep dasar evolusi. Mereka kebingungan saat dihadapkan dengan kurva supply demand. Anak muda Indonesia kebingungan di tempat kerja, menyadari bahwa etika dan moral saja tidak cukup untuk sukses. Bahkan, di website ini , Indonesia yang konon menjunjung tata krama dan etika menjadi salah satu negara yang paling dibenci di dunia, lengkap dengan alasan-alasannya. 

Dalam bukunya yang berjudul 'Pendidikan', Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapkan bahwa, "Ganjaran dan hukuman itu tidak diberikan, untuk menjaga jangan sampai anak biasa bertenaga hanya kalau ada untung atau hanya karena takut mendapatkan hukuman'. Diane Gossen mengungkapkan bahwa, "Hukuman adalah upaya untuk menemaptkan orang pada posisi inferior. Warisan dari hukuman adalah pemberontakan."

Pemberian hukuman dengan tujuan membuat si anak menjadi 'patuh', adalah salah satu dari sedikit warisan psikologi behaviorisme. Dalam ilmu pedagogi, ide pendidikan berdasarkan 'behaviour' itu sudah lama ditinggalkan, seiring dengan perkembangan ilmu psikologi dan pedagogi itu sendiri. Bahkan, di luar sana sudah mulai mengulik konsep 'Educational Neuroscience', yang mencoba menjelaskan bagaimana otak merespon pendidikan secara kimiawi. Pengembangan dunia pedagogi sudah transidisiplin dan multidisiplin, sementara kita masih gontok-gontokan tentang isu kekerasan dalam pendidikan.

Para guru yang mendidik dengan kekerasan fisik, mungkin lupa bahwa mereka sedang mendidik generasi penerus bangsa, bukan mendidik hewan sirkus. Entah apa yang salah dari pemahaman mereka, tapi sepertinya mereka tidak pernah benar-benar mempelajari pedagogi dan perkembangannya dalam dunia modern. 

Guru-guru ini harus belajar bahwa 'respect is earned'. Siswa anda akan menghargai anda sebagai manusia, hanya jika anda menghargai mereka sebagai manusia. Kalau anda tidak memanusiakan siswa anda tapi mewajibakn siswa anda menghargai anda, bisa jadi anda berharap siswa anda terkena stockholm syndrome


Jika metode pendidikan Indonesia masih terus begini, maka bisa jadi tenaga pendidik yang tidak kompeten adalah penghambat utama kemajuan sumber daya manusia Indonesia. Membela para pendidik yang bersalah dan tidak kompeten itu hanya akan menciptakan masalah baru.





Malang, 1 Juli 2016




Azr




About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

0 comments :

Post a Comment

Powered by Blogger.