Tuesday, April 25, 2017

Sebuah Opini Tentang Pernikahan Muda.

Azar Widadsyah
Jadi, belakangan ini saya sering sekali diundang ke acara pernikahan teman-teman saya. Iya, teman-teman saya yang rata-rata masih baru saja lulus kuliah itu, memutuskan dengan berani untuk mengikat pasangannya dalam mahligai pernikahan. Wajah kedua pengantin nampak sangat berbahagia, mengira mereka akan menghabiskan sisa hidup dengan sukacita bersama dengan kekasih pujaan.

Namun, benarkah begitu?

Menurut saya tidak juga.



Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba sindrom 'menikah muda' ini menjadi epidemi unik di generasi milenial. Tiba-tiba saja, di timeline saya penuh dengan anjuran menikah muda dengan ilustrasinya (biasanya gambar laki-laki berbaju koko dengan perempuan berhijab). Dengan slogan yang kira-kira berbunyi "Kalau cinta, maka halalkanlah", anjuran-anjuran untuk menikah sesegera mungkin ini menyebar dengan luar biasa cepat, merasuki pikiran teman-teman saya yang seketika membayangkan betapa indahnya sebuah pernikahan, memiliki anak bayi yang sangat lucu, beribadah bersama sang pujaan hati, dan keindahan-keindahan lainnya.

Meminjam istilah Lailatul Fitriyah pada tulisannya di Magdalene (tulisan yang dimaksud bisa dibaca di sini), teman-teman saya tercinta ini tak ubahnya seperti anak kecil yang termakan rayuan sekantong permen agar mau disuntik. Dibuai oleh pemikiran tentang indahnya pernikahan, anak-anak muda ini beramai-ramai bertekad untuk mendatangi KUA terdekat sambil membawa calon pasangannya, benar-benar dibutakan akan keinginan mencapai hidup indah nan bahagia.

Bagi saya, ini sangat menyedihkan. Alih-alih bersemangat untuk memperbaiki kualitas diri, menggali bakat dan minat, dan mengejar ambisi-ambisi hidup yang belum tercapai, anak-anak muda ini malah berfokus untuk mengejar 'jalan pintas' menuju kebahagiaan. Mereka kira, dengan menikah maka semua masalah hidup mereka selesai, atau setidaknya mereka ada teman untuk menjalaninya bersama-sama.

Mereka lupa, atau bahkan tidak tahu bahwa pernikahan juga berpotensi mendatangkan banyak masalah. Statistik di Amerika Serikat menyebutkan, 60 persen pernikahan pasangan usia 20-25 tahun berakhir dengan perceraian. Statistik di Indonesia menyebutkan bahwa tingkat perceraian di Indonesia naik 16-20 persen setiap tahunnya. Ini adalah angka-angka yang terlihat. Kita tidak boleh lupa, bahwa norma sosial di Indonesia memandang rendah pasangan yang bercerai. Anak juga bisa menjadi alasan pasangan-pasangan dengan rumah tangga yang tidak bahagia memutuskan untuk bertahan. Statistik perceraian ini hanyalah sebuah fenomena gunung es yang tidak terlihat.

Saya tidak sedang menganjurkan pada teman-teman untuk tidak menikah. Menikah adalah hak kalian sebagai manusia. Saya hanya mempermasalahkan kecenderungan untuk segera menikah tanpa memikirkan resiko dan masalah-masalah yang akan dihadapi selama pernikahan. Apakah pasangan-pasangan ini siap untuk menjalani itu semua? Percayalah, sekedar "merasa siap" tanpa benar-benar memahami resikonya dan tahu jalan keluarnya tidak akan membantu sedikitpun jika rumah tanggamu terkena masalah. Kalian harus memiliki jaminan pasti yang menggambarkan kesiapan kalian dalam menikah. Apakah bentuk jaminannya? Kalian sendiri yang menentukan. Yang jelas, jaminan tersebut tidak hanya berupa janji manis, namun disertai dengan pembuktian nyata.

Pernikahan yang dianggap sebagai 'jalan menuju kebahagiaan' ini menunjukkan bahwa mayoritas orang yang mendambakan pernikahan usia muda sedang tidak bahagia. Dalam rangka apa orang yang sudah bahagia mencari kebahagiaan dalam sebuah konsep penuh resiko? Orang yang sudah bahagia tidak akan menikah untuk mencapai kebahagiaan, mereka akan menikah untuk membuat hidup mereka yang sudah bahagia menjadi lebih bahagia. Mereka menikah dalam rangka meningkatkan kebahagiaan yang sudah mereka punya, bukan mencari kebahagiaan itu sendiri.

Kecenderungan untuk mencari kebahagiaan instan ini tentu dilandasi oleh berbagai hal. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kehidupan setelah usia dua puluh bisa dikatakan cukup berat. Kita menyaksikan teman-teman kita pergi dan menjalani hidup masing-masing, tekanan sosial mulai muncul dari sana-sini, kenyataan bahwa ambisi-ambisi kita dalam hidup kemungkinan besar hanya berakhir sebagai wacana menghantam kita layaknya palu godam, dan berbagai masalah-masalah lainnya. Ketidakmampuan dalam menghadapi masalah ini membuat banyak orang mencari jalan pintas menuju kebahagiaan. Pada akhirnya, orang-orang ini menginginkan untuk memiliki seseorang sebagai sumber kebahagiaan mereka, menemani mereka saat masalah-masalah tersebut terus menerpa. Saya harap, kalian memahami bahwa menggantungkan kebahagiaan di tangan orang lain bukanlah ide bagus.

Sekali lagi saya tidak menolak konsep pernikahan. Namun, ada baiknya jika kalian berjuang terlebih dahulu untuk mengejar banyak hal yang kalian inginkan, upgrade diri kalian semaksimal mungkin, latih diri kalian untuk memperlakukan pasangan kalian dengan baik, dan yang paling utama: bahagiakanlah diri kalian sendiri terlebih dahulu. Pastikan jika kalian kelak akan menikah, kalian akan saling menambah kualitas kebahagiaan satu sama lain, bukan mencari bahagia dari pasangan kalian.


"Pernikahan yang dijalani dengan baik akan menjadi cerita cinta paling romantis yang pernah ada dalam hidup kalian, sementara pernikahan yang kacau balau akan menjadi mimpi buruk yang tidak mengizinkan kalian bangun dari tidur."





Malang, 25 April 2017.



Azr.


About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

0 comments :

Post a Comment

Powered by Blogger.