Tuesday, May 03, 2016

Mari Mengutuki Pendidikan Negara Ini

Azar Widadsyah


No, I would not write about 'Pendidikan Yang Tidak Merata' or 'Masih Banyak Anak Tidak Bersekolah'. It's a never ending circle and i'm tired of running. 

Beberapa saat yang lalu, kita dikejutkan dengan perayaan kelulusan anak sekolah menengah yang dinilai terlalu berlebihan. Timeline saya di berbagai media sosial mendadak sangat riuh dengan kecaman, caci maki dan bagi orang yang hatinya cukup lembut, nasihat. Foto-foto mereka yang sedang party disebarluaskan (jelas tanpa izin dari empunya foto), dan mengikuti dibawahnya kalimat-kalimat nan bijak yang menyesalkan apa yang mereka lakukan. And it happens every fucking years. 



Teman saya sendiri berpendapat bahwa semangat menempuh pendidikan siswa-siswi di Indonesia sekarang mengalami degradasi. Dia berpendapat bahwa siswa-siswi lebih sering menghabiskan waktu mereka untuk bersenang-senang, menerapkan perilaku hedonis (i will write about it later) dan menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan pada mereka daripada belajar dengan giat.

Well, kecaman masyarakat yang mereka ramai-ramai tuliskan mungkin ada benarnya. Ucapan teman saya mungkin ada benarnya juga. Tapi, bagi saya pribadi hal-hal diatas menandakan bahwa there is something wrong with the education systems in our country. Sayangnya, kita terlalu sibuk mengutuki tindakan mereka, bahkan tanpa sedikitpun peduli terhadap alasan mereka.

Kalau berkaca dari pengalaman pribadi, selama tiga tahun saya menempuh masa SMA, saya sama sekali tidak merasa nyaman, apalagi senang bersekolah. Saya menghabiskan setiap hari dengan keinginan kuat untuk cabut (sering juga saya realisasikan), sembari berdoa agar kelas hari ini segera usai, mungkin saja ada guru yang tiba-tiba kolaps, ada bom meledak di depan sekolah saya, terserah pokoknya saya cepat pulang. Bukan cuma saya saja, tapi rupanya banyak teman-teman saya yang merasa demikian.

Saya waktu itu sangat, sangat malas untuk bersekolah. Begitupun dengan teman-teman saya. Jujur saja, jika ada orang yang mengatakan sesuatu seperti yang diucapkan teman saya diatas, saya mungkin akan berhenti mengenalnya.

Kami, para siswa kehilangan minat untuk belajar di tempat yang seharusnya menjadi ladang ilmu.

Para orang tua berkata bahwa kami, para siswa adalah masalah utamanya. Benarkah? Saya rasa tidak.

Siswa adalah produk nyata dari pendidikan Indonesia. Jika produknya bermasalah, apakah produknya yang salah? Hanya orang yang buta sama sekali akan proses produksi yang akan mengiyakan. Kesalahannya ada pada eksekutor, atau pada sistem.

Apa yang salah?

Sayangnya, terlalu banyak. Mereka, para siswa yang tingkah lakunya tiap hari dikutuki itu hanyalah korban dari kegagalan sistem dan para eksekutor pendidikan.

Bagi saya, ada lima faktor utama yang menyebabkan ketertarikan siswa untuk belajar. Value of Knowledge, Process in Class, Figure of Example, Accessbility of Information dan Freedom of Expression. Mari kita bedah faktor hasil rumusan saya itu satu persatu.


Pertama, Value of Knowledge. Alasan mendasar mengapa siswa tidak tertarik untuk belajar adalah karena mereka tidak pernah tahu untuk apa sebenarnya mereka belajar, Mereka menjalani 'oh-so-called-kewajiban' mereka untuk bersekolah, dan tiba-tiba para guru memberikan materi yang tidak pernah mereka tahu apa value dibalik materi itu.  Mereka hanya sekedar menjalaninya untuk gugur kewajiban, dan selesai sudah.


Kedua, Process in Class. Menurut testimoni teman-teman saya, proses belajar di kelas betul-betul membosankan. Mereka hanya diberi bekal beberapa buku, modul, atau paling banter ya video tentang materi mereka. Di kelas, mereka hanya mendengarkan guru ceramah selama puluhan menit, setelah itu diberi sesi tanya jawab yang sayangnya tidak pernah 'hidup' sama sekali (we will talk about it at number 5), dan pulang dengan membawa pekerjaan rumah yang menumpuk.  Hanya orang dengan tingkat kesabaran yang luar biasa yang bisa menahan kantuk dengan sistem pengajaran seperti itu.


Ketiga, Figure of Example. Dari sekian banyak guru yang mengajar mereka, berapa banyak yang bisa menyalakan 'api' dalam diri mereka? Berapa banyak yang bisa mereka jadikan sebagai inspirasi dalam hidup? Dan yang paling penting, berapa banyak yang setidaknya mau mendengarkan apa yang mereka bicarakan? Hampir-hampir tidak ada.

Malah biasanya, tenaga pengajar terlalu sibuk untuk menyalahkan mereka, menganak emaskan yang nilainya bagus dan menganak tirikan yang nilainya buruk. Mereka tidak pernah didengar.


Keempat, Accessbility of Information. Jujur saja, menurut saya sedikit sekali buku, website atau artikel berbahasa Indonesia yang memiliki daya tarik untuk menjadi sumber informasi terhadap bidang-bidang yang mereka senangi. Banyak sekali sumber informasi yang kredibel, tapi tidak ada yang menarik bagi mereka (that's why Zenius became some trendsetter in Highschool Students society). 

Contoh kasusnya? Dulu saya tertarik sekali akan topik mengenai Hak Asasi Manusia, namun apa yang saya dapat di artikel bahasa Indonesia yang bisa saya akses di Internet? Nothing. Beruntunglah saya masuk kuliah dan mengenal orang-orang yang tepat.


Kelima, Freedom of Expression. Para generasi pendahulu sering kali kebingungan akan tingkah polah remaja jaman sekarang, dan alih-alih mencari tahu, mereka memutuskan untuk melarang saja. Mereka lupa bahwa waktu sudah berubah. Time flies. Padahal, siswa-siswi kini jelas jauh lebih pintar dari generasi pendahulu mereka. Tapi, mereka tidak pernah bebas mengutarakan apa yang mereka mau.  Alih-alih diarahkan, paling yang mereka dapat hanya larangan.


Kalau boleh jujur, saya melihat api yang hampir padam di mata mereka. Wajar saja kalau mereka mencari lagi 'api' yang diambang batas itu dengan segala macam cara. Mereka dicecoki seenak jidat, tak pernah didengarkan, dikekang habis-habisan pula.

Students nowadays are pretty clueless and fucked up. The problem is not their behaviour, The problem is the system itself. Also, the way their teachers and parents treat them. 

They are lost stars and it is our responsibilities to ignite them. 



Dalam Rangka Memperingati Hari Pendidikan Nasional

Malang, 2 Mei 2016.




Azr

About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

0 comments :

Post a Comment

Powered by Blogger.