Budaya meminum kopi
memang sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia. Bedanya, peminum kopi,
khususnya dari golongan menengah medioker dulu sudah cukup puas dengan menyeduh
kopi ABC di ruang kerja dalam rumah mereka. Entah mana yang lebih dulu: demand masyarakat yang menuntut adanya
tempat yang proper untuk meminum kopi
yang proper pula, atau supply dari pengusaha-pengusaha
kebanyakan uang yang berpikir bahwa masyarakat kelas menengah medioker tidak
cukup puas hanya dari kopi sachet ABC.
Sekarang, kita bisa dengan mudah menemukan kedai kopi bahkan di gang-gang kecil di tengah kota.
Dengan kata lain, kopi telah menjelma dari sekedar
minuman penambah energi menjadi
komoditas industri dengan profit gila-gilaan
dan opsi investasi yang menjanjikan, saking menjanjikannya Alpha JWC Ventures
rela memberikan suntikan modal sejumlah US$ 8 juta kepada Kopi Kenangan, salah
satu kedai kopi yang tersebar di kawasan
Jabodetabek. US$
8 juta dolar dalam kurs sekarang bernilai kurang lebih 113 miliar rupiah. Ucapkan selamat tinggal pada start-up, wahai kawula muda. Barista is the new cool.
Logikanya, semakin
banyak pelaku usaha dalam satu bidang tertentu akan menimbulkan persaingan yang
ketat bagi mereka untuk dicintai oleh segmentasi pasar mereka. Ketatnya
persaingan akan ‘memaksa’ pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas, karena
konsumen punya banyak opsi untuk berpindah dari mereka. Intinya, semakin banyak pelaku usaha dalam satu
bidang berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas produk yang dapat diakses
konsumen.
Berdasarkan hipotesa di
atas, konsumen adalah pihak paling diuntungkan atas persaingan karena mereka
dapat mengakses produk dengan harga yang rasional. Sekilas, hipotesa ini adalah
hipotesa tanpa resiko berarti, kecuali untuk para pelaku usaha yang kebingungan
bagaimana memenangkan hati konsumen mereka.
Pada
praktiknya, khususnya dalam industri kedai kopi, ternyata tidak juga.
Munculnya pelaku-pelaku
usaha untuk bersaing dalam satu bidang industri akan menimbulkan ilusi aneh di
mata masyarakat: “if everyone is doing this, it must be legit”. Masyarakat akan
berlomba untuk terjun ke gelanggang perang industri tersebut dan berharap akan
potongan market share dari industri terkait.
Pemain-pemain baru ini, yang kebanyakan merupakan masyarakat biasa, terjun ke
gelanggang perang dengan modal dan pengetahuan seadanya. Apakah para pemain
baru ini sanggup untuk menciptakan sebuah produk, dalam konteks pembicaraan
kita sekarang adalah kopi, yang berkualitas baik? Saya pribadi sangat meragukan
hal ini.
Industri yang dipenuhi oleh pemain-pemain dengan kapabilitas rendah cepat
atau lambat akan kehilangan daya tarik, tak peduli secepat apa industri ini
naik pamor pada awalnya. Industri kopi, seperti kebanyakan
industri-industri lain, memerlukan pengetahuan dalam titik tertentu untuk
membuat pelakunya mampu menyajikan kopi yang ‘layak’ dan berkualitas. Anda
tidak bisa mempelajari tata cara membuat kopi dalam seminggu dan berharap anda
langsung mampu untuk memproduksi kopi dengan kualitas yang mumpuni. Asumsikan
anda mampu sekalipun, untuk membuat kopi yang berkualitas juga memerlukan
peralatan yang tidak sedikit (dan murah). Sialnya, banyak dari pemain-pemain
baru ini yang menganggap remeh dua aspek di atas, dan berakhir dengan
menghasilkan kopi dengan kualitas yang……well……..bisa
dibilang menyedihkan. Pola seperti ini akan membuat kultur kedai kopi akan
bernasib sama seperti matcha greentea,
kue cubit atau es kepal milo: naik terlalu cepat namun dilupakan karena tidak
memiliki daya tarik absolut apapun.
Jumlah pelaku dalam industri
yang terlalu banyak juga akan menciptakan persaingan yang tidak terkontrol,
bahkan cenderung kotor di pasar. Saat pemain-pemain baru ini akhirnya mengalami
kesulitan dalam bersaing, mereka akan memilih untuk bersaing dalam satu-satunya
hal yang kita semua pahami: harga. Ambillah contoh di Kota Malang, domisili
saya sendiri. Banyak kedai kopi di Kota
Malang menjual kopi mereka seharga 10 ribu
rupiah per gelas. Harga yang terlalu murah untuk segelas kopi.
Manusia didesain untuk
lebih bisa menghargai barang yang membuat mereka membayar dan berkorban lebih
banyak. Pengorbanan dalam level tertentu membuat manusia merasakan pleasure yang tak dapat terdefinisikan,
yang membuat mereka akan lebih menghargai hal tersebut. Harga barang yang mahal
membuat manusia merasakan kenikmatan lebih saat menikmati sesuatu dan
mengurangi persepsi resiko atau penyesalan saat mendapatkan barang tersebut.
Kenikmatan lebih saat
memperoleh sesuatu menghasilkan apresiasi yang tinggi dari manusia terhadap
barang-barang yang dia peroleh. Apresiasi inilah yang membuat pasar memiliki
kesadaran untuk memahami ilmu dan kultur dari kedai kopi ini sendiri. Harga
kopi yang terlalu murah membuat masyarakat kehilangan elemen apresiasi, dan
memperlakukan kopi tak lebih dari barang-barang industri lainnya: habis pakai,
buang, lupakan.
Apresiasi yang rendah
ini akan berdampak pada ekosistem kopi secara keseluruhan: selain mempengaruhi
kualitas, produsen-produsen bahan baku kopi terpaksa menjual bahan bakunya
dengan harga murah, dan menciptakan kultur menikmati kopi yang merusak.
Jangankan mengharapkan masyarakat mampu mengapresiasi barista, roaster dan petani kopi dengan sekedar
mengucapkan terima kasih, mengharapkan mereka dengan sadar bersikap ‘layak’ dan
tidak menganggu pengunjung lain di kedai
kopi sudah merupakan angan-angan yang berlebih. Pelaku-pelaku yang mencari
penghidupan dalam industri kopi akhirnya tidak bisa berbuat banyak untuk
mengendalikan elemen apresiasi ini, selain menurut pada permintaan pasar yang
perlahan-lahan menenggelamkan kenikmatan dan pengalaman meminum kopi hingga ke
titik nadir.
Fenomena kedai kopi
yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini meninggalkan satu pertanyaan
besar di kepala saya: “downfall-nya
kapan nih?”. Mengingat ekosistem dan kultur yang sudah berantakan karena
perubahan kopi menjadi komoditas industri semata, sepertinya kejatuhan industri
ini akan terjadi tidak lama lagi.
0 comments :
Post a Comment