Thursday, January 10, 2019

Dibalik Industri Kopi yang Meroket Terlalu Cepat

Azar Widadsyah


Suatu hari di awal tahun 2019, saya iseng-iseng menyelam cukup dalam di daftar following akun salah satu reviewer kopi di Instagram. Hasil yang saya dapatkan ternyata cukup mengejutkan: sudah ada kira-kira dua ratus lebih kedai kopi di Kota Malang, bahkan jumlah ini belum mencakup warung kopi kecil-kecilan, kafe yang kebetulan menyediakan kopi dalam menunya, hotel-hotel bintang yang berusaha terlalu keras untuk menyediakan kopi, dan kantin-kantin kampus yang menjadikan kopi sachet sebagai menu wajib mereka. Jumlah kedai kopi ini…sedikit terlalu banyak untuk ukuran kota yang sebenarnya tidak luas-luas amat ini.


Budaya meminum kopi memang sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia. Bedanya, peminum kopi, khususnya dari golongan menengah medioker dulu sudah cukup puas dengan menyeduh kopi ABC di ruang kerja dalam rumah mereka. Entah mana yang lebih dulu: demand masyarakat yang menuntut adanya tempat yang proper untuk meminum kopi yang proper pula, atau supply dari pengusaha-pengusaha kebanyakan uang yang berpikir bahwa masyarakat kelas menengah medioker tidak cukup puas hanya dari kopi sachet ABC. Sekarang, kita bisa dengan mudah menemukan kedai kopi bahkan di gang-gang kecil di tengah kota.

Dengan kata lain, kopi telah menjelma dari sekedar minuman penambah energi menjadi komoditas industri dengan profit gila-gilaan dan opsi investasi yang menjanjikan, saking menjanjikannya Alpha JWC Ventures rela memberikan suntikan modal sejumlah US$ 8 juta kepada Kopi Kenangan, salah satu kedai kopi yang tersebar di kawasan Jabodetabek. US$ 8 juta dolar dalam kurs sekarang bernilai kurang lebih 113 miliar rupiah. Ucapkan selamat tinggal pada start-up, wahai kawula muda. Barista is the new cool.

Logikanya, semakin banyak pelaku usaha dalam satu bidang tertentu akan menimbulkan persaingan yang ketat bagi mereka untuk dicintai oleh segmentasi pasar mereka. Ketatnya persaingan akan ‘memaksa’ pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas, karena konsumen punya banyak opsi untuk berpindah dari mereka. Intinya, semakin banyak pelaku usaha dalam satu bidang berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas produk yang dapat diakses konsumen.

Berdasarkan hipotesa di atas, konsumen adalah pihak paling diuntungkan atas persaingan karena mereka dapat mengakses produk dengan harga yang rasional. Sekilas, hipotesa ini adalah hipotesa tanpa resiko berarti, kecuali untuk para pelaku usaha yang kebingungan bagaimana memenangkan hati konsumen mereka.

Pada praktiknya, khususnya dalam industri kedai kopi, ternyata tidak juga.

Munculnya pelaku-pelaku usaha untuk bersaing dalam satu bidang industri akan menimbulkan ilusi aneh di mata masyarakat: “if everyone is doing this, it must be legit”. Masyarakat akan berlomba untuk terjun ke gelanggang perang industri tersebut dan berharap akan potongan market share dari industri terkait. Pemain-pemain baru ini, yang kebanyakan merupakan masyarakat biasa, terjun ke gelanggang perang dengan modal dan pengetahuan seadanya. Apakah para pemain baru ini sanggup untuk menciptakan sebuah produk, dalam konteks pembicaraan kita sekarang adalah kopi, yang berkualitas baik? Saya pribadi sangat meragukan hal ini.

Industri yang dipenuhi oleh pemain-pemain dengan kapabilitas rendah cepat atau lambat akan kehilangan daya tarik, tak peduli secepat apa industri ini naik pamor pada awalnya. Industri kopi, seperti kebanyakan industri-industri lain, memerlukan pengetahuan dalam titik tertentu untuk membuat pelakunya mampu menyajikan kopi yang ‘layak’ dan berkualitas. Anda tidak bisa mempelajari tata cara membuat kopi dalam seminggu dan berharap anda langsung mampu untuk memproduksi kopi dengan kualitas yang mumpuni. Asumsikan anda mampu sekalipun, untuk membuat kopi yang berkualitas juga memerlukan peralatan yang tidak sedikit (dan murah). Sialnya, banyak dari pemain-pemain baru ini yang menganggap remeh dua aspek di atas, dan berakhir dengan menghasilkan kopi dengan kualitas yang……well……..bisa dibilang menyedihkan. Pola seperti ini akan membuat kultur kedai kopi akan bernasib sama seperti matcha greentea, kue cubit atau es kepal milo: naik terlalu cepat namun dilupakan karena tidak memiliki daya tarik absolut apapun.

Jumlah pelaku dalam industri yang terlalu banyak juga akan menciptakan persaingan yang tidak terkontrol, bahkan cenderung kotor di pasar. Saat pemain-pemain baru ini akhirnya mengalami kesulitan dalam bersaing, mereka akan memilih untuk bersaing dalam satu-satunya hal yang kita semua pahami: harga. Ambillah contoh di Kota Malang, domisili saya sendiri. Banyak kedai kopi di Kota Malang menjual kopi mereka seharga  10 ribu rupiah per gelas. Harga yang terlalu murah untuk segelas kopi. 

Manusia didesain untuk lebih bisa menghargai barang yang membuat mereka membayar dan berkorban lebih banyak. Pengorbanan dalam level tertentu membuat manusia merasakan pleasure yang tak dapat terdefinisikan, yang membuat mereka akan lebih menghargai hal tersebut. Harga barang yang mahal membuat manusia merasakan kenikmatan lebih saat menikmati sesuatu dan mengurangi persepsi resiko atau penyesalan saat mendapatkan barang tersebut.

Kenikmatan lebih saat memperoleh sesuatu menghasilkan apresiasi yang tinggi dari manusia terhadap barang-barang yang dia peroleh. Apresiasi inilah yang membuat pasar memiliki kesadaran untuk memahami ilmu dan kultur dari kedai kopi ini sendiri. Harga kopi yang terlalu murah membuat masyarakat kehilangan elemen apresiasi, dan memperlakukan kopi tak lebih dari barang-barang industri lainnya: habis pakai, buang, lupakan.

Apresiasi yang rendah ini akan berdampak pada ekosistem kopi secara keseluruhan: selain mempengaruhi kualitas, produsen-produsen bahan baku kopi terpaksa menjual bahan bakunya dengan harga murah, dan menciptakan kultur menikmati kopi yang merusak. Jangankan mengharapkan masyarakat mampu mengapresiasi barista, roaster dan petani kopi dengan sekedar mengucapkan terima kasih, mengharapkan mereka dengan sadar bersikap ‘layak’ dan tidak menganggu pengunjung  lain di kedai kopi sudah merupakan angan-angan yang berlebih. Pelaku-pelaku yang mencari penghidupan dalam industri kopi akhirnya tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan elemen apresiasi ini, selain menurut pada permintaan pasar yang perlahan-lahan menenggelamkan kenikmatan dan pengalaman meminum kopi hingga ke titik nadir.

Fenomena kedai kopi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini meninggalkan satu pertanyaan besar di kepala saya: “downfall­-nya kapan nih?”. Mengingat ekosistem dan kultur yang sudah berantakan karena perubahan kopi menjadi komoditas industri semata, sepertinya kejatuhan industri ini akan terjadi tidak lama lagi.



Malang, 10 Januari 2019. Ditulis sambil menikmati kopi di salah satu kedai kopi, selagi trennya masih segar.

About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

0 comments :

Post a Comment

Powered by Blogger.