Friday, December 25, 2015

Perempuan dan Kesialan-Kesialan Mereka

Azar Widadsyah
Beberapa hari lalu, saya dibuat tertegun oleh statement salah seorang teman wanita saya.

Bagaimana tidak? Dia berkata bahwa dia sangat jarang menjumpai laki-laki yang mendekatinya tanpa niat buruk. Saya, yang kebetulan juga seorang laki-laki, dengan keras menentang asumsi dia tersebut. 

Dia hanya menjawab: "coba saja amati pembicaraan laki-laki dengan teman-teman lelakinya."

Saya menuruti sarannya dan rupanya, apa yang saya dengar seolah-olah mengiyakan asumsi teman saya tersebut. 


Tiga hari lalu, beberapa orang kawan meminta pada saya untuk dikenalkan dengan beberapa perempuan. Waktu saya bertanya untuk apa, jawaban dia enteng saja rupanya.

"Gawe turon-turonan tok Zar, hehe", begitu katanya.

Hari ini, saya berkumpul dengan teman-teman lama dan salah satu pembicaraan mereka membahas salah seorang mahasiswi (yang kebetulan, well, sangat cantik) ternyata bisa "dipakai", dan mereka membicarakan itu dengan sangat antusias. 

Detik itu, saya menyadari bahwa benar juga ucapan teman saya tadi. Laki-laki baik memang sudah langka. 

Saya teringat akan sebuah kutipan yang pernah saya baca, yang bunyinya adalah: "When men are opressed, it's a tragedy. When women are opressed, it's a tradition."

Di masyarakat kita, melecehkan seorang wanita, baik secara langsung atau tidak langsung seolah-olah menjadi hal yang wajar. Kita terbiasa menjadikan wanita sebagai objek pemuas hawa nafsu, atau sebagai properti yang harus tunduk pada etika dan moral yang telah ditentukan kaum laki-laki. 

Begitu mudahnya kita menghakimi seorang wanita, hanya dengan apa yang dia kenakan dan ucapkan. Betapa mudahnya kita menganggap seorang wanita rendah hanya karena dia memilih jalan yang dia inginkan.

Saya benar-benar gagal memahami pola pikir banyak orang. Banyak diantara para wanita yang sering mereka rendahkan, pada kenyataannya adalah wanita-wanita hebat, yang bagi saya pribadi, levelnya jauh diatas orang-orang yang membicarakannya. 

Namun apa lacur, masyarakat kita rupa-rupanya masih menganut budaya patriarki. Sebuah budaya ketinggalan zaman yang memisahkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, dan rupanya pada prosesnya jauh lebih menguntungkan bagi laki-laki. 

RA Kartini mungkin sedang menangis di liang kuburnya :) 

Sejauh ini, para wanita, khususnya di Indonesia harus bersiap untuk menghadapi cercaan, terlepas dari apapun yang mereka lakukan. Kondisi budaya masyarakat pada akhirnya berdampak pada input pengetahuan-pengetahuan yang ditanamkan pada kebanyakan orang. A never ending circle. 

Seorang wanita, seharusnya memiliki hak untuk memerdekakan dirinya sendiri, dan bebas dari cercaan-cercaan masyarakat yang harus diakui, kadang memadamkan semangat. 

Seorang wanita, seharusnya mendapatkan hak untuk mencapai pencapaian yang sama dengan laki-laki, tanpa cibiran sinis dari para pria dibawahnya. 

Seorang wanita, tidak seharusnya diatur sedemikian rupa seolah-olah ia adalah boneka Barbie yang bebas dimainkan oleh orang-orang yang "merasa" memiliki wanita tersebut.


Yang mereka dapat?
Kebalikan dari kalimat-kalimat "seharusnya" yang saya sebutkan diatas.



Mereka yang dilahirkan sebagai wanita, sepertinya sedang sial di sepanjang hidup mereka. 




About the Author

Azar Widadsyah / Author & Editor

Blog ini berisi tentang tulisan-tulisan dari orang yang menikmati semesta. Mayoritas berisi opini dan pengalaman personal.

0 comments :

Post a Comment

Powered by Blogger.