Friday, May 10, 2019

Not Bright Enough, Not Smart Enough

Azar Widadsyah
Nasib terlampau buruk memberi satu keuntungan: tidak ada seorangpun yang akan meragukan penderitaan dan menihilkan usaha-usaha yang telah dilakukaan saat pada akhirnya, orang dengan nasib terlampau buruk ini benar-benar kalah total dan meminta pertolongan. Mereka tidak akan kesulitan menghadapi penghakiman masyarakat, lengkap dengan segala selidik investigasi terkait elemen-elemen kecil dalam hidupnya. Sedikit hiburan di tengah-tengah kehidupan yang tajam menusuk.

Saturday, January 19, 2019

Kesuksesan Finansial: Fatamorgana yang Jauh Dari Genggam

Azar Widadsyah
Image result for success

Hampir semua orang di dunia ini mendambakan kesuksesan finansial, tidak peduli dari manapun kita berasal. Kita diajari sedari kecil untuk mengejar kesuksesan finansial ini, dengan cara apapun. Semua orang yang kita kenal memberitahu kita: apabila kita berusaha cukup keras maka impian setinggi apapun cepat atau lambat akan ada dalam genggaman. Tokoh-tokoh inspiratif yang biasa kita lihat menjejali informasi mengenai kiat-kiat meraih sukses finansial, lengkap dengan wejangan-wejangan untuk dipercaya saat kita hendak memulai.

Kita diajarkan untuk percaya sepenuhnya bahwa hal-hal yang memisahkan kita dengan kesuksesan finansial adalah kerja keras dan ketekunan. 

Warren Buffet pernah berkata bahwa mungkin saja semua hal baik yang berhasil dia gapai terjadi karena dia lahir di negara yang tepat (Amerika Serikat), di waktu yang tepat (medio 1930). Warren Buffet muda tidak perlu merasakan perang, bahkan dia merasakan bagaimana negaranya menjadi pusat dunia karena menang di Perang Dunia II. Ekonomi Amerika Serikat pada medio tersebut sedang kaya-kayanya, peluang bisnis terbuka lebar, kebetulan Buffet lahir dari keluarga yang cukup mapan, dan voila. Warren Buffet (dan entah berapa banyak konglomerat kaya lainnya) menjadi yang sekarang kita lihat. 

Laporan World Bank pada tahun 2015 (dapat dilihat disini) menggambarkan potret menyedihkan dari negara kita sendiri. World Bank menyebutkan bahwa, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh cukup pesat selama dua dekade terakhir, pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh 20 persen dari masyarakat Indonesia, yang diklasifikasikan dengan annual income sebesar US$3.600 per tahun (sekitar 51 juta rupiah, atau setara dengan 4,2 juta rupiah per bulan).

Gini Index Indonesia 1990 - 2017 (Badan Pusat Staistik, 2017)

Timpangnya ekonomi juga dapat dilihat dari Gini Index, indeks statistik yang menggambarkan penyebaran kekayaan masyarakat di suatu negara. Ketimpangan penghasilan ini, meski memiliki dampak baik dalam pertumbuhan ekonomi dalam taraf tertentu, akan menghasilkan pengaruh buruk bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Penelitian dari Wicaksono, Amir dan Nugroho (2017) yang tergabung dalam Asian Development Bank Institute (dapat dilihat disini) menyimpulkan bahwa penyebab utama ketimpangan ekonomi di Indonesia adalah pendidikan, kemampuan finansial dan sektor tenaga kerja.

Sialnya, penyebab ketimpangan ini adalah hasil dari ketimpangan pula.

Tidak meratanya penyebaran pendapatan membuat mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses pendidikan yang cukup, fasilitas yang memadai, dan kesehatan yang baik. Kegagalan masyarakat dalam mengakses hal ini menghasilkan generasi penerus dengan level kemampuan yang stagnan, sehingga dia hanya akan diterima di pekerjaan dengan bayaran yang minimum, dan kecil kemungkinan untuk merubah nasib dirinya dan keluarganya. Data yang dirilis oleh Credit Suisse, sebuah lembaga keuangan Swiss, sebagaimana dihimpun oleh KataData (dapat dilihat disini) menunjukkan fakta yang lebih menyedihkan lagi: 49.3 kekayaan nasional berputar hanya di 1 persen dari keseluruhan jumlah warga negara Indonesia. 50.7 persen sisa kue kekayaan negara tersebut diperebutkan oleh 99 persen warga negara Indonesia. 


Mungkin memang benar adanya bahwa dalam mayoritas kasus, sayangnya, kerja keras tetap tidak merubah apapun.


Sistem ekonomi salah kaprah ini menciptakan satu kesimpulan: there is no fair battles. Anggaplah ada pihak yang mendokumentasikan kisah hidup saya dan kisah hidup anak seorang konglomerat tujuh turunan lulusan Harvard dari Jakarta selama sepuluh tahun. Alur cerita yang hampir pasti terjadi adalah: sang anak konglomerat tetap hidup enak, sementara saya grinding dengan susah payah untuk sekedar membeli rumah. Anak sang konglomerat bisa saja menciptakan unicorn start-up, sementara saya terjebak menjadi budak korporat atau pemerintah dengan gaji medioker. 

Apabila saya berhasil mengalahkan si anak konglomerat lulusan Harvard tersebut, saya jamin kisah dokumenter tersebut akan ditonton oleh banyak sekali orang, mungkin saja saya diundang mengisi seminar-seminar inspiratif, bahkan diberi kesempatan untuk menulis buku tips sukses versi saya sendiri. Masyarakat akan mencintai dan mengelu-elukan saya. Alasannya mudah saja: karena masyarakat paham, jauh dalam lubuk hati, bahwa pertandingan tersebut hampir mustahil saya menangkan. Saya menjadi alat bagi masyarakat untuk menciptakan penyangkalan-penyangkalan kemustahilan tersebut dalam pikiran mereka. 

Apabila jalan cerita berjalan sesuai prediksi, akan muncul satu pertanyaan:

Apakah salah saya jika karir saya mengalami stagnansi karir dan penghasilan, sementara saingan saya di atas sukses meraih mimpi dan cita-citanya?

Tentu saja tidak, rekan-rekan sekalian.

Kesempatan dalam meraih sukses itu SANGAT, SANGAT DIPENGARUHI oleh sistem. Akses pendidikan dan healthcare yang baik, fasilitas publik, regulasi, perlindungan hak dalam hukum, keputusan politik, dan lain-lain yang banyak sekali itu adalah hasil dari sistem. Sistem yang sama bahkan bisa merubah harga beras yang anda makan sehari-hari, peluang anda untuk mendapat pinjaman bank, bahkan kelulusan anda dalam tes mengemudi.

Buruknya sistem membuat produk-produk yang dihasilkan sistem ini berkualitas sama buruknya, sehingga dibutuhkan biaya/nilai lebih apabila individu ingin mengakses produk dengan standar yang tinggi. 

Saya sebagai masyarakat yang jelas terlempar jauh-jauh dari putaran 1 persen penguasa kekayaan, namun (sepertinya) masih termasuk 20 persen masyarakat yang terkena dampak pertumbuhan ekonomi, jelas harus memilih dengan seksama produk-produk sistem yang bisa saya gapai dengan batasan nilai dan finansial saya.

Pesaing saya? Limitless. 

Shafir dan Mullainathan  (2013) dalam buku mereka yang berjudul Scarcity: Why Having Too Little Means So Much.  menyebutkan bahwa statistik anak orang miskin untuk menjadi kaya ternyata sangatlah muram: di Amerika peluang impian tersebut hanya mencapai 7 persen, sementara di Denmark hanya mencapai angka 11 persen. Peluang masyarakat untuk 'naik level' dalam pertandingan yang sama sekali tidak adil ini ternyata rendah sekali.

In the end, we cannot win in a rigged game, no matter how many nasty plots, ruthless tricks and immoral decisions we play. 

Thursday, January 10, 2019

Dibalik Industri Kopi yang Meroket Terlalu Cepat

Azar Widadsyah


Suatu hari di awal tahun 2019, saya iseng-iseng menyelam cukup dalam di daftar following akun salah satu reviewer kopi di Instagram. Hasil yang saya dapatkan ternyata cukup mengejutkan: sudah ada kira-kira dua ratus lebih kedai kopi di Kota Malang, bahkan jumlah ini belum mencakup warung kopi kecil-kecilan, kafe yang kebetulan menyediakan kopi dalam menunya, hotel-hotel bintang yang berusaha terlalu keras untuk menyediakan kopi, dan kantin-kantin kampus yang menjadikan kopi sachet sebagai menu wajib mereka. Jumlah kedai kopi ini…sedikit terlalu banyak untuk ukuran kota yang sebenarnya tidak luas-luas amat ini.

Tuesday, April 25, 2017

Sebuah Opini Tentang Pernikahan Muda.

Azar Widadsyah
Jadi, belakangan ini saya sering sekali diundang ke acara pernikahan teman-teman saya. Iya, teman-teman saya yang rata-rata masih baru saja lulus kuliah itu, memutuskan dengan berani untuk mengikat pasangannya dalam mahligai pernikahan. Wajah kedua pengantin nampak sangat berbahagia, mengira mereka akan menghabiskan sisa hidup dengan sukacita bersama dengan kekasih pujaan.

Namun, benarkah begitu?

Menurut saya tidak juga.

Friday, July 01, 2016

Berhenti Membela Kesalahan Pendidik

Azar Widadsyah
Akhir-akhir ini, masyarakat sedang diributkan oleh seorang guru yang tersandung kasus hukum karena dia diduga mencubit siswanya. Orang tua siswa yang bersangkutan tidak terima, jadilah permasalahan tersebut berbuntut panjang.

Guru, yang konon adalah sosok yang dijunjung tinggi martabat dan kehormatannya tiba-tiba disandung kasus hukum. Ramailah masyarat. Sebagian besar menyayangkan sikap orang tua siswa tersebut yang terkesan berlebihan, tidak mengajarkan anak disiplin dan lain sebagainya. Sebaliknya, waktu seorang teman menanyakan pada saya komentar tentang kasus tersebut, jawaban saya singkat saja:

"Kalau itu anakku yang jadi korban, bakal panjang urusannya.'

Powered by Blogger.