Sejak kecil, kita dilatih untuk memiliki empati untuk orang-orang dengan nasib terlampau buruk. Kita diajari bahwa mereka memiliki ciri-ciri tertentu: berpeluh keringat, berpakaian kumal, melakukan pekerjaan kasar, dan sebagainya dan sebagainya. Ciri-ciri ini, kita asosiasikan sebagai 'standar penderitaan': saat ciri-ciri ini berada pada seseorang, maka secara otomatis kita mampu merasakan penderitaan orang tersebut - tanpa syarat.
Masalahnya, kita lupa bahwa masalah-masalah besar dalam hidup bukanlah ekslusifitas yang hanya boleh dimiliki mereka yang kelewat nestapa.
Asumsikan salah satu dari kita, yang datang dari kelas menengah sampai atas, suatu hari mengalami kesulitan besar sehingga penting bagi kita untuk setidaknya berbagi beban dengan berkisah ke orang lain. Kita berharap untuk mendengar kalimat-kalimat simpatik, didengarkan dan divalidasi perasaannya, syukur apabila ada yang tergerak membantu.
Alih-alih kalimat menenangkan penuh pengertian, Kita akan dengan mudah mendengar orang mempertanyakan seberapa keras usaha-usaha yang kita lakukan. Para pendengar cerita ini akan duduk dalam suatu forum bersama rekan-rekannya, dan mengkritisi upaya maupun cara yang kita lakukan agar bisa tetap waras dalam menghadapi masalah, dan seringkali diakhiri dengan berlomba-lomba siapa yang paling menderita
Forum menarik ini hampir selalu diakhiri dengan kesimpulan-kesimpulan dengan irama sebagai berikut:
Kita tidak berusaha terlalu keras
Kita tidak memiliki resiliensi dan ketangguhan yang cukup
Kita terlalu melebih-lebihkan masalah kita
Kita gagal mensyukuri anugerah Tuhan
Kita tidak sepantas itu untuk mendapat uluran tangan
Kita, yang tidak memiliki atribut-atribut 'kenestapaan', mendadak dinilai dengan sangat mendetail dan diukur level kecemerlangannya. Satu-satunya cara untuk setidaknya lepas dari penghakiman ini adalah menjadi 'secemerlang' mungkin, hingga mencapai poin dimana 'kritikus-kritikus pilihan hidup ini' bahkan tidak membayangkan ada seseorang yang mampu mencapai level tersebut. Level kecemerlangan yang dibutuhkan untuk 'membungkam' orang-orang ini berbanding lurus dengan kemiripan kita dengan atribut-atribut kenestapaan: semakin tidak mirip kita, semakin tinggi tingkat kecemerlangan yang dibutuhkan.
Muncul satu masalah baru: kita tidak secemerlang itu. Prestasi-prestasi kita, mungkin cukup baik dan kita berdarah-darah untuk mencapainya, namun belum cukup. Kontribusi kita terhadap kehidupan sosial masyarakat, mungkin cukup aktif dan kita melupakan banyak hal untuk mencapainya, namun belum cukup. Indeks nilai akademis kita, mungkin layak diberi predikat cum laude hasil dari minim absensi dan belajar giat, namun belum cukup. Medioker.
Kita yang tidak istimewa-istimewa amat ini mencoba mencari bantuan-bantuan yang memungkinkan untuk diperoleh, namun sayangnya kualitas kita yang hanya satu dua tingkat di atas standar normal tidak cukup baik bagi para pemberi bantuan yang kita harap-harapkan. Kecil sekali kemungkinan kita yang biasa-biasa saja ini mampu mendapat akses bantuan yang kita butuhkan, sekalipun ada angkanya tidak lebih dari standar deviasi dalam statistik: tidak lebih dari error dalam pengambilan keputusan.
Not bright enough, not poor enough: tidak secemerlang itu untuk menihilkan atribut, dan tidak pula senestapa itu untuk menihilkan kualitas.
Mungkin memang penderitaan adalah hak ekslusif milik kaum-kaum tertentu.
Jogjakarta, 10 Mei 2019
Ditulis beberapa jam setelah perdebatan yang sangat tidak objektif dengan mantan pacar.
0 comments :
Post a Comment